News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Harta,Tahta,Wanita dalam Islam (2)

Harta,Tahta,Wanita dalam Islam (2)

Nuansamedianews.com - Ummu Al-Mundzir, salah seorang sahabat perempuan,menuturkan, "Pada suatu sore, Rasulullah saw muncul di tengah-tengah para sahabat. Beliau bersabda, ‘Wahai manusia, apakah kalian tidak merasa malu kepada Allah?'Mereka bertanya, 'Kenapa kami harus merasa malu, ya Rasulullah?' Beliau bersabda, ‘Kalian mengumpulkan sesuatu yang tidak kalian makan, kalian mengangankan sesuatu yang tidak bisa kalian jangkau, dan kalian membangun sesuatu yang tidak kalian tempati' ." (HR. Ibnu Abid Dunya)

Bukankah lebih baik rezeki yang berlimpah itu digunakan untuk beramal saleh seperti menyantuni anak yatim piatu dan fakir miskin?Allah SWTmemberikan kelapangan rezeki kepada sebagian makhluk agar mereka dapat saling berbagi sehingga terbentuk simbiosis mutualisme atau hubungan yang saling menguntungkan. Ketika seseorang menafkahkan hartanya kepada orang yang berhak menerimanya maka mereka akan mendoakan agar Allah SWT menambahkan rezeki kepada orang tersebut sehingga akan lebih banyak lagi harta yang bisa mereka bagikan kepada yatim piatu dan fakir miskin. Jadi, ada pola take and give dalam kehidupan,sesuatu yang kemudian menciptakan sebuah harmoni. Dalam banyak kesempatan, Rasulullah saw, bersabda mengenai bersedekah,10 diantaranya sedekah itu merupakan bukti keimanan seseorang dan mereka yang bersedekah akan memperoleh pahala yang besar di sisi Allah Swt. 

(HR. Al-Baihaqi).

Dalam membimbing umatnya menjalani hidup di dunia, para nabi dan rasul senantiasa memberikan teladan. Ada yang memberikan teguran atau peringatan, namun ada pula yang langsung memberikan teladan dalam bentukperbuatan, contohnya adalah Nabi Muhammad saw yang mempunyai perilaku lembut dan sopan. Beliau jarang menegur umatnya dengan perkataan kalau tidak terpaksa. Nabi Muhammad lebih banyak memberikan teladan dalan bentuk perilaku agar ditiru. Ketika beliau memilih menjalani hidup dengan zuhud sebenamya itu merupakan teguran halus kepada umatnya agar berhati hati dengan pesona harta benda. Di tengah-tengah perilaku zuhudnya, beliau masih bisa menyedekahkan rezekinya yang tersisa pada hari itu tanpa memikirkan esok hari. Karena malu dan takut kepada Allah SWT jika masih menyimpan harta yang tidak dibutuhkan pada hari itu, beliau mensedekahkannya. Beliau sadar bahwa kepastian datangnya kematian tidak pernah beliau ketahui. Adapun untuk hari esok, beliau yakin Allah akan mencukupinya.

Inilah yang menjadi kekhawatiran Rasulullah saw, orang yang sudah cinta dunia, tujuan hidupnya hanya untuk mencari yang dicintainya itu. Hakikat hidupnya untuk berbakti kepada Allah tidak lagi dihiraukannya. Negeri akhirat pun terlupakan.11 “Bergembiralah dan berharaplah memperoleh sesuatu yang melapangkan diri kalian. Demi Allah, bukan kemiskinan yang aku khawatirkan akan menimpa diri kalian. Akan tetapi, aku khawatir jika dunia ini dibentangkan untuk kalian sebagaimana ia dibentangkan untuk orang orang sebelum kalian, kemudian berlomba sebagaimana mereka berlomba, dan akhirnya kalian hancur sebagaimana mereka hancur.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Selama hidup di dunia, selama itu pula kita akan dikelilingi oleh ujian berupa keindahan duniawi. Islam tidak melarang seseorang menjadi penguasa dunia, memiliki harta melimpah, dan jabatan mentereng. Agama mulia ini justru menghendaki umatnya menjadi penguasa dunia. Tapi, Islam juga memberi aturan komprehensif agar terjalin keseimbangan hidup yang harmonis antara urusan dunia dan akhirat. 

Aisyah RA berkata, 'Rasulullah lebih dermawan dari pada angin yang bertiup bebas." (HR. Bukhari Muslim). Sebagai umatnya, kita mungkin tidak bisa meneladani semua perilaku beliau, namun setidaknya kita berusaha mengikuti teladan beliau sesuai kemampuan kita. Allah berfirman dalam Qs.AlHadid [57]:20, "Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan di antaramu, serta berbangga -bangga dalam banyaknya harta dan anak..."

Umat Islam tidak perlu menampakan materi, namun jangan sampai tergila

gila dengannya. Sebab, materi yang kita peroleh hakikatnya adalah titipan Allah SWT agar kita distribusikan kepada mereka yang membutuhkan dan sebagai sarana ibadah kita kepada Nya. Jika kita tidak terikat dengan materi maka apabila Allah sewaktu waktu mengambilnya, tidak akan ada perasaan sedih dalam hati kita.

Imam Al-Qurthubi memberi nasihat,12 “Hendaklah seseorang menggunakan nikmat dunia yang Allah berikan untuk menggapai kehidupan akhirat yaitu surga. Oleh karena itu, seorang mukmin hendaklah memanfaatkan dunianya untuk hal yang bermanfaat bagi akhiratnya. Jadi, ia bukan mencari dunia dalam rangka sombong dan angkuh.

2. Tahta

Umumnya, orang yang mendapat kenaikan pangkat atau jabatan akan merasa gembira karena itu berarti ia akan menduduki tempat yang lebih prestisius, memiliki anak buah, dihormati, leluasa memerintah bawahan. Dan kemauannya selalu didengar. Dari bibirnva akan meluncur kalimat alhamdulillah. Namun, benarkah demikian yang harus dilakukan oleh seorang muslim ketika derajat duniawinya diangkat Allah SWT?

Seorang sahabat yang mendapat anugerah kenaikan jabatan mengucapkan astaghfirullah, subhanallah, dan alhamdulillah. Raut wajahnya terlihat biasa biasa saja.Bahkan, bukan aura kebahagiaan yang terlihat, namun kecemasan. Saya yang sangat penasaran dengan ekspresi wajahnya itu memberanikan diri untuk bertanya. Ia lalu menjawab, "Mengapa yang pertama kali saya ucapkan astaghfirullah? Karena seorang pemimpin mengemban amanah yang sangat besar dan akan dipertanggung jawabkan kelak di akhirat. Seorang pemimpin bisa dengan mudah berbuat salah dan tidak adil. Terkadang, sifat egonya juga mudah muncul. Untuk itu, saya memohon ampunan kepada Allah SWT terlebih dahulu agar Dia membimbing saya nanti.

Terakhir, saya mengucapkan alhamdulillah. Hal ini bukan semata mata karena saya naik jabatan tetapi sebagai ungkapan syukur ketika Allah SWT bersedia memaafkan kesalahan saya saat memimpin dan mensucikan noda noda yang akan saya buat nanti. Kalimat ini juga sebagai ungkapan syukur karena Allah SWT bersedia membimbing saya selama menjalankan kepemimpinan. Kalau boleh, sebenarnya saya lebih senang memilih posisi yang sekarang. Tidakusah menjadi pemimpin. Sebab, orang yang mendapatkan amanah sebenarnya tengah diuji oleh Allah SWT”.

Demikian sekelumit penjelasan darinya.13 Terus terang saya kagum dengan jawabannya. Di mata sahabat saya itu, betapa menjadi pemimpin tidaklah mudah. Ia merasa sangat rawan tergelincir ke dalam lumpur dosa sebab terbebani oleh tanggung jawab yang begitu besar. Allah SWT berfirman dalam QS. Al- An'am [6]:165, “Dan Dia-lah yang menjadikan kamu penguasa -penguasa (khalifah) di bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat untuk mengujimu dengan apa yang diberikan -Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Jarang sekali saat ini kita temui pemimpin yang memiliki kesadaran penuh tentang betapa berat mengemban sebuah amanah. Kebanyakan manusia justru mengejar jabatan demi memenuhi ambisi pribadi atau sesuatu yang tidak jelas tujuannya. Tidak jarang untuk memperolehnya mereka melakukan berbagai cara seperti jurus katak meloncat,14 yaitu berusaha meraih pujian atasannya dengan cara melakukan semua yang diinginkan sang atasan meskipun tindakannya itu keliru. Seorang pimpinan yang tidak jeli dengan rayuan seperti ini pada akhirnya akan mencelakakan dirinya dan orang banyak suatu hari nanti.

Jurus katak meloncat' identik dengan perilaku menyingkirkan para pesaing dengan cara yang tidak fair seperti mencoreng nama dan kredibilitas mereka dengan cara menyebarkan fitnah di depan sang pimpinan. Musibah tersebut akan semakin besar jika sang atasan tidak melakukan cek dan ricek terhadap kebenaran informasi tersebut sehingga berakibat pada pengambilan keputusa nyang keliru.

Ada beberapa sikap atau budaya yang perlu diwaspadai terutama di dunia kerja dalam Islam antara lain:15

1. Budaya Instan.

Budaya instan adalah sikap ketika seseorang ingin meraih sesuatu serba instan tanpa mempedulikan norma dan etika. Misalnya ingin cepat kaya, ingin cepat sukses, atau 

ingin cepat mendapat jabatan dengan menggunakan cara-cara yang bertentangan dengan etika dan norma yang berlaku sebagaimana yang disebut diatas. Dunia kerja, budaya instan yang negative biasanya akan melahirkan korupsi dan kolusi. Menurut syariat Islam korupsi adalah tindakan pengambilan sesuatu yang ada dibawah kekuasaannya. Padahal secara umum, untuk mendapatkan suatu kesuksesan dalam bidang apapun diperlukan sebuah proses.

2. Budaya Materialistis

Budaya Materialistis adalah suatu sikap yang melihat atau mengukur sesuatu dari sisi materi saja, sehingga menilai dan menghargai seseorang hanya berdasarkan materi yang dimiliki. Bekerja hanya dilihat sebagai penghasil uang. Akibatnya, segala sesuatu bergantung pada imbalan materi. Walaupun manusia memerlukan materi, jangan melupakan ada sisi lain yang perlu diperhatikan. Dalam bekerja, yang jadi ukuran bukan hanya uang, melainkan juga ada aspek silaturahim, kerja sama, persahabatan, networking, saling menghargai, tolong menolong, dan aspekaspek lainnya.

3. Budaya Konsumerisme

Konsumerisme biasanya diartikan sebagai membeli sesuatu tidak sesuai dengan kebutuhan, lebih karena faktor gengsi. Sikap ini memaksa seseorang untuk tampil atau kelihatan lebih dari segi materi, meskipun tidak sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.

4. Budaya Hipokrit atau Munafik

Daalam sebuah hadis, Rasulullah saw, menjelaskan bahwa ciri orang munafik ada 3, yaitu apabila ia berbicara maka ia berdusta, apabila berjanji ia akan mengingkarinya, dan apabila dipercaya maka ia akan berkhianat.

Mereka yang tidak memiliki jiwa kepemimpinan, dan meraih jabatan tinggi melalui persaingan yang tidak fair tidak memiliki integritas, kapabilitas, dan kredibilitas pada akhirnya akan merongrong keutuhan suatu organisasi atau institusi. Manusia dengan tipe seperti ini akan mudah memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi,keluarga, dan kroninya serta mengorbankan kepentingan orang banyak. Kepemimpinannya cenderung otoriter dan sewenang wenang. Tidak peduli orang lain susah, yang penting kepentingan dirinya dan orang orang di lingkaran kekuasaannya terpelihara. Pelan tapi pasti, perilakunya akan membuat kehancuran di lingkungan sekitarnya. 

Sejalan dengan tujuan syariat Islam, maka pencapaian keadilan yang dikehendaki adalah terciptanya ketertiban dan kepastian yang menuju pada keadilan bagi umat Islam. Lord Acton pernah berkata, "Kekuasaan cenderung meracuni jiwa dan kekuasaan yang absolut akan cenderung meracuni jiwa secara absolut pula". Sejarah kehidupan manusia telah mencatat dan membuktikan betapa jahat nafsu untuk berkuasa.

Tentu kita masih ingat beberapa penguasa yang membuat rakyatnya sengsara karena ambisi pribadinya.Tinta merah dalam lanskap sejarah pernah ditorehkan oleh Adolf Hitler (Jerman), Bennit Musolini (ltalia),dan Mao Tse Dong(China). Inilah beda antara penguasa dan pemimpin. Dua kata ini memiliki makna yang jauh berbeda namun seringkali kita anggap sama. Pemimpin adalah mereka yang benar-benar memperjuangkan keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran rakyat, bukan kepentingannya sendiri. Sedangkan penguasa lebih mementingkan ambisi, ego, dan kepentingan pribadi serta orang -orang di lingkaran kekuasaannya dibandingkan kehidupan yang layat bagi rakyatnya.(bersambung)

Editor : Marthagon




Source (Abdurrasyid) Dosen Fakultas Agama Islam dan Humaniora Universitas Pembangunan Panca Budi Medan.

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Posting Komentar