News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Konsep Riba dalam Al'quran

Konsep Riba dalam Al'quran

Nuansamedianews.com - Riba yang dikenal sebagai tambahan yang tidak disertai dengan adanya pertukaran kompensasi2 dilarang oleh al-Qur‟an. Al-Qur‟an sendiri telah menjelaskan secara rinci tahapan pelarangan riba tersebut. Tahap pertama sekedar menggambarkan adanya unsur negatif dalam riba (QS. al-Rum[30]:39). Kemudian disusul dengan isyarat keharaman riba dengan disampaikannya kecaman terhadap orang-orang Yahudi yang melakukan praktik riba (QS. al-Nisa‟ [4]:161). Berikutnya, secara eksplisit al-Qur‟an mengharamkan riba dengan batasan adh„āfan mudhā„afan (QS. Ali Imran [3]: 130) yang diikuti dengan pengharaman riba secara total dalam berbagai bentuknya (QS. al-Baqarah [2]:275-281).

Di sisi lain, bunga bank yang diketahui sebagai imbal jasa pinjaman uang pada sektor lembaga keuangan dan perbankan diidentifikasi sebagai riba. Bunga ini dalam suatu periode tertentu disebut suku bunga. Suku bunga merupakan tolok ukur dari kegiatan perekonomian dari suatu negara yang akan berimbas pada kegiatan perputaran arus keuangan perbankan, inflasi, investasi dan pergerakan currency. Dan biasanya negara-negara besar merupakan negara yang memiliki currency terbesar dalam transaksi di bursa. Aktivitas ekonomi yang terjadi di negara-negara tersebut memiliki pengaruh yang kuat terhadap fundamental perekonomian dunia.

Akan tetapi ketika terjadi krisis moneter di berbagai belahan dunia, sejumlah pendapat bermunculan mengenai sebab utama yang melatarbelakangi krisis ini. Stiglitz, menyebutkan bahwa krisis keuangan terjadi sebagai akibat kesalahan di hampir semua putusan ekonomi. Barry Eichengreen, melihat akar krisis selain berasal dari keserakahan pelaku pasar (greed and corruption on wall street) juga menunjukkan beberapa kebijakan ekonomi dalam beberapa dasawarsa terakhir sebagai sebab utama terjadinya krisis. Fahim Khan melihat krisis berasal dari kesalahan mendasar praktik ekonomi yang melindungi institusi keuangan dan perbankan untuk bermain dan berspekulasi (gambling and speculation) di pasar keuangan. Sementara Luthfi Hamidi menyebutkan bahwa krisis moneter yang sering terjadi di berbagai belahan dunia tersebut tidak terlepas dari faktor suku bunga, di samping hutang yang tidak terkendali dan faktor derivatif.

Tulisan ini mencoba untuk mengurai benang merah antara keharaman riba yang terdapat dalam al-Qur‟an dengan eksistensi bunga bank yang di satu sisi menjadi kebutuhan dalam lembaga keuangan. Namun di sisi lain kerap disebut sebagai penyebab krisis ekonomi tersebut. Apakah ada korelasi antara pelarangan riba dalam al-Qur‟an dengan kondisi riil ekonomi yang berbasis pada bunga bank saat ini. 

Setidaknya ada tiga hal yang menjadi prioritas dalam pembahasan ini. Pertama, mencoba melihat bagaimana historisitas pelarangan riba itu terjadi

dengan menggunakan analisis sosio-kultural. Hal ini penulis anggap penting, sebab al-Qur‟an, dalam konteks bahasa, sepenuhnya tidak lepas dari wilayah budaya dan sejarah. Sebab, bahasa itu sendiri memang sebagai bagian dari budaya manusia. Dalam melakukan analisis terhadap ayat-ayat riba, penulis berusaha menjelaskan pengertian dan makna ayat-ayat riba tersebut dengan langkah epistimologis yang mempunyai dasar pijak pada teks dengan kontekskonteksnya. Sebab teks al-Qur‟an, dalam konteks bahasa, merupakan bentuk representasi dan keterwakilan budaya masyarakat di mana teks diproduksi.

Kedua, untuk mengurai makna riba dari dengan analisis semantik. Teks al-Qur‟an, dalam hal ini ayat-ayat riba, dalam konteks linguistik merupakan sistem tanda yang merepresentasikan ide-ide sebagai tinandanya. Unsur-unsur kalimat yang ada di dalamnya juga mengharuskan dipahami dalam konteks hubungan sintagmatik dan assosiatif.

Ketiga, mencoba menangkap pandangan dunia al-Qur‟an melalui analisis semantik. Dalam pengertian etimologisnya, semantik merupakan ilmu yang berhubungan dengan fenomena makna dalam pengertian yang lebih luas dari kata. Begitu luas, sehingga apa saja yang dianggap memiliki makna merupakan objek semantik. Menurut Toshihiko Izutsu, kajian semantik merupakan kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan suatu pandangan yang akhirnya sampai pada pengertian konseptual weltanschauung atau pandangan dunia masyarakat yang menggunakan bahasa itu.

Pengertian Riba

Secara bahasa (lughah), menurut al-Razi, riba berarti tambahan. Hal ini 

didukung dengan sebuah ungkapan rabā al-syay‟ yarbū; arbā al-rajul idzā „amala fī al-ribā. Di samping itu juga dikuatkan oleh QS. al-Hajj [22]:5: ......وربت ا

(…hiduplah bumi itu dan suburlah…). Arti kata riba dalam ayat ini adalah bertambahnya kesuburan atas tanah. Sejalan dengan ini bisa dilihat QS. al-Nahl 

[16]:92: … disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya (arba) dari golongan yang lain. Senada dengan al-Razi, al-Shabuni berpendapat bahwa riba adalah tambahan secara mutlak. Demikian pula al-Jurjani dalam kitab alTa„rīfāt-nya menjelaskan bahwa riba secara bahasa bermakna ziyādah(tambahan).

Menurut Quraish Shihab, kata riba dari segi bahasa berarti “kelebihan”. Kalau kita hanya berhenti pada makna kebahasaan ini, maka logika yang dikemukakan para penentang riba pada masa Nabi dapat dibenarkan. Ketika itu mereka berkata (sebagaimana diungkapkan al-Qur‟an –bahwa “jual beli sama saja dengan riba” (QS. al-Baqarah [2]:275), Allah menjawab mereka dengan tegas bahwa “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Penegasan ini dikemukakan-Nya tanpa menyebut alasan secara eksplisit, namun dapat dipastikan bahwa tentu ada alasan atau hikmah sehingga riba diharamkan dan jual beli dihalalkan.

Akar kata ربو yang menjadi sumber kata riba, digunakan dalam al

Qur‟an sebanyak dua puluh kali (QS. al-Baqarah [2]:265, 275, 276, 278; Ali Imran [3]:130; al-Nisa‟ [4]:161; al-Ra‟d [13]:17; al-Nahl [16]: 92; al-Isra‟ [17]:24; al-Hajj [22]:5; 23:50; 26:18; 30:39; 41:39; 69:10). Dari dua puluh itu, istilah riba digunakan delapan kali (QS. al-Baqarah [2]: 275, 276, 278; Ali Imran [3]:130; al-Nisa‟ [4]:161; 30:39). Akar kata ربو dalam al-Qur‟an memiliki makna „tumbuh‟ (QS. al-Hajj 22:5), „menyuburkan‟ (QS. al-Baqarah [2]:276; 30:39), „mengembang‟ (QS. al-Ra„d [13]:17), dan „mengasuh‟ (QS. al-Isra‟ [17]:24; 26:18, „menjadi besar‟ dan „banyak‟ (QS. al-Nahl [16]:92). Akar kata ini juga digunakan dalam arti „dataran tinggi‟ (QS. al-Baqarah [2]: 265; 23:50).

Penggunaan-penggunaan tersebut tampak secara umum memiliki satu makna, yaitu „bertambah‟, dalam arti kuantitas maupun kualitas.

Sedangkan secara terminologis, menurut al-Shabuni, riba adalah tambahan yang diambil oleh pemberi hutang dari penghutang sebagai perumbangan dari masa (meminjam). Al-Jurjani mendefiniskan riba sebagai tambahan atau kelebihan yang tiada bandingannya bagi salah satu orang yang berakad. Sementara Abdurrahman al-Jaziri dalam Kitāb al-Fiqh alā Madzāhib al-Arba„ah menjelaskan bahwa riba menurut istilah fukaha adalah tambahan pada salah satu dua barang yang sejenis yang ditukar tanpa adanya imbalan/imbangan terhadap tambahan tersebut. Dalam madzhab Syafi‟i, riba dimaknai sebagai transaksi dengan imbalan tertentu yang tidak diketahui kesamaan takarannya maupun ukuran waktunya kapan terjadi transaksi dengan penundaan penyerahan kedua barang yang dipertukarkan atau salah satunya.

Pengertian yang hampir sama juga disampaikan oleh beberapa ulama 

antara lain, Badruddin al-Ayni yang berpendapat bahwa prinsip utama dalam riba adalah penambahan. Menurut syari‟ah, riba berarti penambahan atas harga pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil. Sementara Imam Sarakhsi dari madzhab Hanafi mengatakan bahwa riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya iwadh (padanan) yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut. Menurut Zaid bin Aslam, yang dimaksud riba Jahiliyyah yang berimplikasi pelipatgandaan sejalan dengan waktu adalah seseorang yang memiliki piutang atas mitranya pada saat jatuh tempo, ia berkata, “bayar sekarang atau tambah”. Dan Imam Ahmad bin Hanbal ketika

ditanya tentang riba, ia menjawab, “sesungguhnya riba itu adalah seseorang memiliki utang maka dikatakan kepadanya apakah akan melunasi atau membayar lebih. Jikalau tidak mampu melunasi, ia harus menambah dana (dalam bentuk bunga pinjaman) atas penambahan waktu yang diberikan”.

Dengan demikian dapat diketahui bahwa secara umum terdapat benang merah antara pengertian secara bahasa (lughah) maupun secara istilah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan dalam suatu akad transaksi tertentu di mana pengambilan tambahan tersebut tanpa disertai imbangan tertentu. Dengan bahasa lain, riba adalah pengambilan tambahan dari harta pokok tanpa transaksi pengganti yang meligitimasi adanya penambahan tersebut.(bersambung)

Editor: (Marthagon)




Source: (abdul ghafour)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Posting Komentar