News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Konsep Riba dalam Al'quran (Part 3)

Konsep Riba dalam Al'quran (Part 3)

Konsep Riba dalam Al'quran (Part 3)

      Ilustrasi 

Nuansamedianews.com - Tahap ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu 

tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikkan pada masa tersebut. Pada tahap ini, Allah menurunkan QS. Ali Imran [3]:130. Menurut al-Shabuni, ayat ini termasuk madaniyah yang di dalamnya telah menerangkan keharaman riba secara jelas namun bersifat juz‟i tidak bersifat kulli. Sebab, pengharamannya „hanya‟ ditujukan pada riba al-fāhisy; riba yang sangat buruk dan keji di mana dengan riba tersebut hutang seseorang dapat menjadi berlipat-lipat.

Ayat ini turun pada tahun ke-3 H. Secara umum, ayat ini menjadi 

perdebatan antara fukaha bahwa apakah kriteria berlipat ganda merupakan syarat terjadinya riba, atau ini merupakan sifat umum dari praktik pembungaan uang pada saat itu. Akan melihat waktu turunnya ayat ini harus dipahami secara komprehenship dengan QS. al-Baqarah [2]:278-279 yang turun pada tahun ke-9 H. 

Pengharaman ini sama dengan pengharaman khamr pada tahap ketiga dimana keharamannya hanya bersifat juz‟i yakni hanya pada saat shalat saja. 

Hal ini sebagaimana tergambar dalam firman Allah :

يَاأَحٍَُّا اَّلَِّيوَءَانَيَُا َلَتَقْرَبَُا الصََّلَةَوَأَجْجُمْسَُكَرَى حََّتَّتَػْلَهَُانَا تَقَُلَُنَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian shalat, sedang kalian dalam keadaan mabuk, sehingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan…..” (QS. al-Nisa‟ [4]:43)

Tahap keempat, merupakan tahap yang terakhir, dengan diturunkannya QS. al-Baqarah [2]:278-279). Pada tahap ini, Allah swt dengan jelas dan tegas mengharamkan apa pun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman, baik sedikit mupun banyak. Dan pengharamannya bersifat kulli dan qath„i. Ayat Ini merupakan ayat terakhir yang diturunkan menyangkut riba. Hal ini sama dengan tahap keempat diharamkannya khamr, di mana keharamannya sudah bersifat pasti مْتُْلَْفْهْرُوَالْهَيِْسُِوَاْلَْىْصَابُوَاْلَْ:sebagaimana disebutkan dalam firman Allah : كُالَػَإِلَّجَّهَانِبَُنَيَُهُاوَجْجَءَافَانَِّلَِّياطَااأَشَّحٍَُّيْايَللِحَُنَزَْلَمُرِجْسٌنِوْخَهَلِا

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan” (QS. al-Ma‟idah [5]:90)

Karena ayat ini didahului oleh ayat-ayat yang lain yang berbicara tentang riba, maka tidak heran jika kandungannya bukan saja melarang praktik riba, tetapi juga sangat mencela pelakunya, bahkan mengancam mereka. 

2. Asbāb al-Nuzūl Turunnya Ayat-ayat Riba 

Adalah suatu keharusan untuk mengetahui latar belakang (asbāb alnuzūl) larangan ayat riba ayat agar bisa memahami pembahasan riba secara mendasar. Tanpa mengetahui sebab yang melatarbelakanginya, akanmenjadikan pemahaman yang kurang lengkap terhadap masalah riba.

Secara historis ada beberapa versi (riwayat) yang menjadi latar belakang turunnya ayat larangan riba, khususnya QS. a-Baqarah [2]:275-279 dan Ali Imran [3]:130-131.

Umumnya para mufassir dengan mengutip dari al-Thabari berpendapat bahwa ayat al-Baqarah 275-279, khususnya ayat 275, turun disebabkan oleh pengamalan paman Nabi Muhammad saw, Abbas bin Abdul Muthalib dan Khalid bin Walid, yang bekerjasama meminjamkan uang kepada orang lain dari Tsaqif bani „Amr. Sehingga keduanya mempunyai banyak harta ketika Islam dating.

Sumber lain mengatakan bahwa banu „Amr ibn Umair ibn Awf mengambil riba dari bani Mughirah. Apabila tiba waktu pembayaran yang telah dijanjikan, maka utusan datang ke bani Mughirah untuk mengambil tagihan. Ketika pada suatu waktu Bani Mungirah tidak mau membayar dan hal tersebut sampai kepada Rasulullah saw, beliau bersabda, “Ikhlaskanlah atau kalau tidak siksa yang pedih dari Allah.” Sedangkan sebab turunnya QS. Ali Imran [3]:130-131, menurut satu riwayat dari „Atha disebutkan bahwa, banu Tsaqif mengambil riba dari banu Mughirah. Apabila tiba waktu pembayaran datang utusan dari banu Tsaqif datang untuk menagih. Kalau tidak membayar, disuruh menunda dengan syarat menambah sejumlah tambahan.

Senada dengan hal tersebut, Mujahid meriwayatkan, bahwa seseorang di zaman Jahiliyyah berhutang kepada orang lain. Lalu yang berhutang (kreditur) berkata, “Akan saya tambah sekian jika kamu memberikan tempo kepadaku.” Maka si empunya piutang (debitur) memberikan tempo tersebut. 

Riwayat lain menyebutkan, bahwa di masyarakat pra-Islam, mereka biasa menggandakan pinjaman pada orangorang yang sangat membutuhkan (kesusahan), yang dengan pinjaman tertentu, orang yang meminjam tidak saja mengembalikan sejumlah uang yang dipinjam, tetapi juga menambah dengan sejumlah tambahan yang

sesuai dengan masa pinjamannya. Kalau si peminjam mempunyai uang untuk mengembalikan pinjaman dalam waktu cepat dan singkat, maka dia akan mengembalikan dengan jumlah tambahan yang relatif sedikit. Sebaliknya, kalau tidak mempunyai uang untuk mengembalikan dengan cepat, maka bisa ditunda, dengan syarat harus membayar uang tambahan yang lebih besar lagi. 

3. Kondisi Sosio-Ekonomi Sebelum Turunnya Ayat Riba

Menurut Abdullah Saeed, larangan riba sebagaimana termuat dalam al-Qur‟an telah didahului bentuk-bentuk larangan yang lainnya yang secara moral tidak dapat ditoleransi. Larangan ini tercermin dalam perilaku sosial ekonomi masyarakat Makkah pada saat itu, yang secara luas menimbulkan dampak kerugian yang besar dalam komunitasnya. 

Di mana al-Qur‟an sangat menganjurkan masyarakat Makkah untuk menolong fakir miskin dan anak yatim yang ada di sekelilingnya. Menurut al-Qur‟an bahwa barangsiapa yang tidak mendirikan shalat dan tidak memperhatikan fakir miskin akan diancam hukuman siksa neraka (QS. al-Muddatstsir [74]:43-44). 

Di samping itu, fakir miskin mempunyai bagian hak dari harta benda orang-orang kaya (QS. al-Ma„arij [70]:24-25). Karena di antara orang mendapat hukuman dari Allah karena mereka tidak mau memperhatikan serta menolong fakir miskin (QS. al-Haqqah [69]:34). Di samping itu, alQur‟an menegaskan tentang pentingnya untuk menafkahkan (spending) harta benda untuk mengurangi beban penderitaan fakir miskin (QS. alBaqarah [2]:262; al-Nisa‟ [4]:39; al-Ra„d [13]:22; al-Furqan [25]:67; Fathir [35]:29. 

Anjuran untuk menafkahkan harta sebagaimana disebutkan di dalam al-Qur‟an memiliki peran penting untuk memperkuat pondasi keimanan umat Islam (QS. al-Anfal [8]:72; al-Hujurat [49]:15). Menafkahkan harta dapat dilaksanakan dalam bentuk hibah (pemberian) maupun sedekah. Apabila bentuk tersebut terasa berat untuk dilaksanakan, maka dapat dilakukan melalui peminjaman (hutang) dengan tanpa memungut kelebihan atau beban dari nilai pokok, yang dipinjamkan kepada pihak yang membutuhkan. 

Menurut al-Qur‟an, bahwa jenis pinjaman yang demikian dinamakan dengan qardh al-hasan (pinjaman yang penuh kebijakan) (QS. al-Baqarah [2]:245). Pinjaman ini dilakukan untuk mengurangi beban penderitaan pihak-pihak yang membutuhkan, bukan untuk melakukan eksploitasi terhadap mereka. 

Al-Qur‟an menggunakan term qardh al-hasan dalam versi yang mengindikasikan bahwa penerima dari pinjaman tersebut secara umum diberikan kepada orang-orang yang memang membutuhkan (QS. al-Baqarah [2]:245; al-Ma‟idah [5]:12; alHadid [57]:1, al-Kahf [18]; al-Taghabun [64]:17.(bersambung)

Editor : (Marthagon)



Source (Abdul Ghofur)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Posting Komentar