Konsep Riba dalam Al'quran (Part 4)
Konsep Riba dalam Al'quran (Part 4)
Nuansamedianews.com - Al-Qur‟an telah memberikan pelajaran mengenai perilaku yang baik untuk menerima pengembalian pinjaman dalam bentuk jumlah tetap sama dengan nilai pokok yang dipinjamkan, serta mengajarkan untuk meringankan dan bahkan membebaskan seluruh beban hutang debitur, jika pihak yang memberi pinjaman (kreditur) mampu untuk melakukannya. Dalam al-Qur‟an dijelaskan, ”lebih baik bagimu jika membebaskan sebagian atau semua hutang sebagai sedekah” (QS. al-Baqarah [2]:280).
Berdasarkan pengertian di atas, al-Qur‟an memberikan perhatian yang mendalam terhadap masyarakat yang secara otomatis sangat lemah yang menekankan untuk membantu akan kebutuhan finansial mereka dengan tanpa memberi tambahan beban penderitaan mereka. Dalam konteks ini menunjukkan bahwa tuntunan yang demikian itu diperintahkan dalam kasus apabila pihak peminjam (debitur) terpaksa meminjam uang guna untuk mencukupi kebutuhan primernya.
Hakikat Kandungan Makna Riba
Makna sesungguhnya dari riba telah menjadi bahan perdebatan sejak zaman sahabat. Khalifah Umar, khalifah kedua, pernah menyesalkan karena Rasulullah saw wafat sebelum sempat memberi penjelasan yang lebih terperinci mengenai riba.
Tetapi dalil al-Qur‟an menyatakan bahwa semua bentuk ribaharus dikutuk, “Tetapi jika kalian bertobat, maka bagimu jumlah pokoknya (yakni modal)” (QS. al-Baqarah [2]:279). Atas dasar ini, sebagian besar ulama berpendapat bahwa riba meliputi tidak hanya usurya, tetapi semua jenis bunga. Sementara sebagian ulama lain berpendirian bahwa riba dengan ketentuan tertentu saja yang diharamkan.
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa dalam al-Qur‟an ditemukan kata riba sebanyak delapan kali dalam empat surah, tiga di antaranya turun setelah Nabi hijrah dan satu ayat turun ketika beliau masih di Makkah. Yang di Makkah, meskipun menggunakan kata “riba” (QS. al-Rum [30]; 39), ulama sepakat bahwa riba yang dimaksud di sana bukan riba yang haram karena ia diartikan sebagai pemberian hadiah yang bermotif memperoleh imbalan banyak dalam kesempatan yang lain. Oleh karena itu, upaya untuk memahami apa yang dimaksud dengan riba adalah dengan mempelajari ayat-ayat yang turun di Madinah, atau lebih khusus lagi kata-kata kunci pada ayat-ayat tersebut yaitu adh„āfan mudhā„afah (berlipat ganda), mā baqiya min al-ribā (apa yang tersisa dari riba) dan falakum ru‟ūsu amwālikum, lā tazhlimūna wa la tuzhlamūna.
a. Dialektika Pemahaman Makna Adh‘āfan Mudhā‘afah dalam Ayat Riba
Dari keempat ayat yang telah disebutkan di atas yang menjadi bahasan utama dan menjadi perdebatan panjang di kalangan ulama antara lain adalah QS. Ali Imran [3]:130-131 dan QS. al-Baqarah [2]:275-279. Dalam surah Ali Imran diterangkan tentang keharaman riba dengan „kriteria‟ yang berlipat ganda (adh„āfan mudhā„afah). Ketika membahas QS. Ali Imran [3]:130, para ulama menekankan pembahasan pada kata adh„āfan mudhā„afah. Dari pembahasan tersebut muncul dua kelompok besar. Pertama, ulama yang memegangi bahwa penyebutan kata tersebut hanya merupakan informasi tentang perilaku orang Arab pra Islam, dan tidak menjadi syarat keharaman riba. Sebaliknya, kelompok kedua menjadikan lipat ganda sebagai syarat haramnya riba.
Muhammad Rasyid Ridha memahami bahwa riba yang diharamkan al-Qur‟an hanya riba yang berlipat ganda. Lipat ganda yang dimaksud adalah “pelipatgandaan yang berkali-kali”.
Memang pada zaman Jahiliyyah dan awal Islam, apabila seorang debitor yang tidak mampu membayar hutangnya pada saat yang ditentukan, ia meminta untuk ditangguhkan dengan janji membayar berlebihan dengan cara berulang-ulang. Sikap نْثَصَدَّقَُا خََيٌْلَكُمْإِنْلُيْجُمْتَػْلَهَُنَوَإِنَْكَنَذُو غُِسَْةٍفَيَظِرَةٌإَِلَنَيِْسََةٍوَأَ:semacam ini dikecam oleh al-Qur‟an
“dan jika debitur berada dalam kesulitan, maka hendaklah diberi tangguh hingga ia memperoleh keleluasaan dan menyedekahkan (semua atau sebagian dari piutang) lebih baik untuknya jika kalian
mengetahuinya.” (QS. al-Baqarah [2]: 280)
Demikian pula dalam pandangan Muhammad Abduh (w. 1905), tidak semua riba adalah haram. Riba yang diharamkan adalah bentuk riba yang dipraktikkan pada zaman pra-Islam yang cenderung berlipat ganda (adh„āfan mudhā„afah). Oleh sebab itu, menurutnya, penambahan yang pertama dalam suatu utang tertentu adalah halal, tetapi jika pada saat jatuh tempo, ditetapkan untuk menunda jatuh tempo tersebut dengan imbalan suatu tambahan lagi, maka tambahan kedua ini yang diharamkan.
Dalam Tafsīr al-Manār disebutkan, bahwa kata al-ribā‟ yang berbentuk ma„rifah dalam QS. al-Baqarah [2]:275 merujuk pada riba yang adh„āfan mudhā„afah. Oleh sebab itu yang diharamkan dalam ayat ini adalah riba yang dipraktikkan orang Arab pra-Islam (riba Jahiliyyah); tambahan jumlah hutang karena penundaan pembayaran yang diistilahkan dengan adh„āfan mudhā„afah.
Setidaknya ada tiga alasan.
Pertama, dengan menggunakan kaidah bahasa bahwa pengulangan kosa kata yang menyatakan, ”apabila ada kosa kata yang menunjukkan pengkhususan (ma„rifah) diulang, maka pengertian kosa kata.kedua sama dengan kosa kata yang pertama”. Oleh sebab itu kata al-ribā‟ dalam QS. al-Baqarah [2]:275 sama dengan kata yang ada QS. Ali Imran [3]:130.
Kedua, memahami ayat yang tidak bersyarat berdasarkan ayat yang sama tetapi bersyarat. Jadi, kata al-ribā pada QS. al-Baqarah [2]:275 yang tidak bersyarat dipahami berdasarkan kata yang bersyarat (adh„āfan mudhā„afah) pada QS. Ali Imran [3]:130.
Ketiga, pembicaraan alQur‟an tentang riba senantiasa dihubungkan dan dihadapkan dengan pembicaraan tentang shadaqah dan infāq, yang dihubungkan dengan zhulm(penganiayaan dan penindasan).
Pandangan Abduh dan Rasyid Ridha ini diikuti pula oleh Ibn Qayyim dan Abd al-Razzaq Sanhuri. Menurut mereka, bunga yang berlipat gandalah yang pertama-tama dan terutama diharamkan dalam QS. Ali Imran [3]:30. Bagi mereka, berdasarkan kesaksian riwayat-riwayat yang menjelaskan riba pra-Islam dan yang tersimpul darinya bahwa bunga yang ringan tidak termasuk yang diharamkan. Pandangan-pandangan ini agaknya didasarkan pada riwayat-riwayat yang terdapat dalam Tafsīr alThabarī relevansinya dengan bagaimana riba dipraktikkan pada zaman praIslam. (Bersambung)
Editor: (Marthagon)
Source (Abdul Ghofur)
Posting Komentar