Konsep Riba dalam Al'quran (Part 5)
Konsep Riba dalam Al'quran (Part 5)
Nuansamedianews.com - Al-Thabari, ketika membahas QS. Ali Imran [3]:130, menjelaskan rangkaian sejarah perilaku orang Arab pra-Islam tentang si penghutang yang belum bisa mengembalikan hutang dan mengatakan, “beri tangguh aku waktu akan ku tambah bagimu”. Selanjutnya dia mengatakan, inilah riba yang berlipat ganda (adh„āfan mudhā„afah) yang diharamkan Allah. Untuk menguatkan pendapat ini, al-Thabari mengutip sebuah hadits, yang salah satunya diriwayatkan Mujahid, yang menyatakan bahwa riba adh„āfan mudhā„afah adalah riba Jahiliyyah. Maka riba yang haram, menurutnya, hanyalah riba yang dipraktikan di masa Jahiliyyah, sedangkan riba jenis lain tidak diharamkan.
Pandangan-pandangan tersebut berbeda dengan pendapat yang menegaskan bahwa ketentuan adh„āfan mudhā„afah dalam QS. Ali Imran [3]:130 hanyalah menjelaskan apa yang dipraktikkan oleh orang-orang Arab dan merupakan tahap pertama pengharaman riba.
Dengan demikian, tidak berarti bahwa bunga yang dikenakan menjadi halal bila jumlahnya tidak dilipatgandakan. Selain itu, dalam pandangan kelompok yang kedua ini, ayat-ayat riba yang terakhir (QS. al-Baqarah [2]:275-279) telah secara jelas menyatakan bahwa setiap tambahan yang melebihi dan di atas pokok pinjaman sudah pasti riba dan oleh karenanya haram hukumnya.
Hal ini berlaku bagi setiap bentuk bunga, baik itu bunga yang bersuku rendah, berlipat ganda, tetap maupun berubah-ubah.
Al-Jashshash (m. 370 H), ulama Hanafiyah mengharamkan semua jenis riba tanpa kecuali. Ia berpendapat bahwa sifat lipat ganda (adh„āfan mudhā„afah) yang ada dalam QS. Ali Imran ini bukan berarti sebagai syarat keharaman riba. Dengan turunnya QS. al-Baqarah [2]:275-279, maka hukum riba, dengan segala jenisnya menjadi haram.
Demikian pula al-Qurthubi (m. 671 H), juga mengharamkan semua jenis riba. Adapun penyebutan kata adh„āfan mudhā„afah, menurutnya, di samping memberitahu tentang perilaku orang Arab pra-Islam, juga menunjukkan betapa kejinya perbuatan ribā al-nasī‟ah tersebut.
AlSyaukani juga sejalan dengan pendapat Al-Jashshash dan al-Qurthubi yang juga mengharamkan semua jenis riba. Dalam pandangan al-Syaukani, kata adh„āfan mudhā„afah bukan sebagai batasan terhadap pelarangan riba, melainkan berfungsi sebagai informasi gambaran praktik yang ada di masyarakat Arab pra-Islam. Dengan demikian, dia berpendapat, bahwa semua bentuk riba, baik sedikit maupun banyak, hukumnya haram.
Al-Shabuni membantah bahwa riba yang diharamkan hanya riba yang berlipat ganda (adh„āfan mudhā„afah). Pertama, lipat ganda bukanlah sebuah syarat dan juga bukan qayd. Tujuan dari ungkapan ini hanyalah memberikan informasi tentang praktik yang dilakukan orang-orang Jahiliyyah (Arab pra-Islam).
Kedua, kaum muslim sudah sepakat (ijma) tentang pengharaman riba, baik sedikit ataupun banyak. Ketiga, ayat yang terakhir yang melarang riba (QS. al-Baqarah [2]:275-281) tidak membedakan antara yang sedikit dengan yang banyak. Sebab, yang sedikit itu, di samping jumlahnya relatif, juga mengarah kepada yang banyak, maka perlu juga dilakukan sadd al-dzarā„i (tindakan preventif).
Quraish Shihab mengatakan bahwa pendapat yang memahami riba yang diharamkan hanya yang berlipat ganda, tidak diterima oleh banyak ulama. Bukan saja karena masih ada ayat lain yang turun sesudahnya yang memerintahkan untuk meninggalkan sisa riba yang belum diambil, tetapi juga karena akhir ayat yang turun tentang riba memerintahkan untuk meninggalkan sisa riba. Dan bila mereka mengabaikan hal ini, maka Tuhan
وَإِنْثُبْجُمْفَلَكُمْرُءُوسُأَمََْالِكُمَْلَتَظْلِهَُنَوََلَتُظْلَهَُنَ
:mengumumkan perang terhadap mereka
“Dan jika kalian bertobat, maka bagimu modalmu. (Dengan demikian), kalian tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.” (QS. alBaqarah [2]:279)
Inilah kata kunci yang terpenting dalam persoalan riba, dan atas dasar inilah kita dapat menilai transaksi hutang piutang dewasa ini.
Dalam konteks ini, permasalahan adh„āfan mudhā„afah akan menjadi menarik manakala dikaitkan dengan transaksi hutang piutang dalam praktik perbankan. Menurut pendapat yang pertama, segala bentuk praktik perbankan, termasuk bank konvensional dengan penerapan bunga tertentu yang „dinilai‟ tidak „berlipat ganda‟ maka tidak dimasukkan dalam kategori riba.
Sebaliknya bagi kelompok yang kedua, sekecil apa pun bentuk bunga, maka dapat dikategorikan sebagai riba dan solusinya adalah dengan membentuk lembaga perbankan yang bebas bunga (perbankan syari‟ah).
Hemat penulis, adh„āfan mudhā„afah, pada ayat di atas prinsipnya adalah menggambarkan praktik yang terjadi pada masa Jahiliyyah dan menjadi sifat yang inheren dengan praktik riba. Oleh karena itu, praktik pembungaan uang meski dengan kadar yang kecil, jika memiliki „potensi‟ untuk berlipat ganda, termasuk kategori riba.
Karena kenyataannya bunga bank dalam praktik bank konvensional sudah „tersistematisasikan‟ sedemikian rupa dan sering membebani peminjam, seperti bunga yang banyak di awal cicilan.
Demikian pula perbankan syari‟ah, jika itu hanya „lipstik‟ saja, artinya secara esensial tidak menggambarkan nilai ta„āwun, keadilan dan saling berbagi risiko dalam untung dan ruginya, maka bisa saja termasuk kategori riba sebagaimana dimaksudkan di atas.
b. Memaknai Lafadz Lā Tazhlimūna wala tuzhlamūna dalam Ayat Riba.
Para sarjana muslim mutakhir berbeda pendapat mengenai apakah riba yang diharamkan dalam al-Qur‟an dapat diterapkan dalam bunga bank modern atau tidak. Perbedaan ini nampaknya berakar dari satu isu pokok; apakah penekanan harus diberikan kepada alasan pengharaman riba, yaitu „kezaliman‟, ataukah kepada bentuk legal di mana riba terkonseptualisasi secara formal dalam hukum Islam. Kecenderungan kaum modernis mengarah kepada pandangan pertama, sementara kaum neo-revivalis cenderung kepada yang kedua.
Modernis seperti Fazlurrahman (1964), Muhammad Asad (1984), Sa‟id al-Najjar (1989), dan Abd al-Mun‟im al-Namir (1989) cenderung menekankan pada aspek „moral‟ pengharaman riba, dan menomorduakan „bentuk legal‟ riba, seperti yang banyak ditafsirkan oleh ahli fikih. Mereka berargumen bahwa raison d‟etre pengharaman riba adalah „kezaliman‟, seperti yang dirumuskan dalam pernyataan al-Qur‟an, lā tazhlimūna wa lā tuzhlamūna (kalian tidak berbuat zalim dan tidak pula dizalimi). Mereka juga memperoleh dukungan pendapat-pendapat ulama klasik, seperti alRazi, Ibn al-Qayyim, Ibn Taimiyyah dan beberapa ulama yang telah disebut di atas.
Bagi para sarjana tersebut, tampak jelas bahwa apa yang diharamkan adalah eksploitasi atas orang yang melarat, bukan konsep bunga itu sendiri. Apa yang diharamkan adalah tipe peminjaman yang berusaha mengambil untung dari penderitaan orang lain.
Banyak penulis dengan kecenderungan ini berusaha membedakan antara berbagai bentuk bunga yang dipraktikkan di bawah sistem perbankan tradisional, mempertahankan sebagian dan menolak sebagian yang lain.
Sementara pandangan kaum neo-revivalis menitik beratkan pada bentuk legal riba seperti yang dinyatakan dalm fikih, dan menekankan bahwa kata-kata yang disebutkan dalam al-Qur‟an harus dimaknai secara literal, tanpa perlu memperhatikan apa yang dipraktikkan pada masa praIslam.
Menurut pandangan ini, karena al-Qur‟an telah menyatakan bahwa hanya pokok pinjaman yang harus diambil, maka tidak ada pilihan selain menafsirkan riba menurut kata-kata itu. Oleh sebab itu, apapun keadaannya, pemberi pinjaman tidak berhak menerima tambahan melebihi pokok pinjaman.
Bagi kelompok ini, makna dan jangkauan riba serta sifatnya yang menyeramkan telah dijelaskan dalam al-Qur‟an (QS. al-Baqarah [2:225). Pelarangannya tidak diragukan lagi, karena ayat “Tuhan menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. al-Baqarah [2:275) adalah sangat jelas.
Apabila nash-nya jelas maka tidak perlu ada klarifikasi lebih jauh. Karena al-Qur‟an telah menyatakan bahwa hanya modal yang harus diambil, maka tidak ada alternatif selain menafsirkan riba sesuai dengan susunan kata dalam ayat itu. Oleh karena itu, adanya ketidakadilan dalam transaksi pinjaman adalah tidak relevan. Bagaimanapun, pemberi pinjaman tidak berhak untuk menerima tambahan apapun selain modal, termasuk suku bunga.(Bersambung)
Editor : (Marthagon)
Source: (By Abdul Ghofur)
Posting Komentar