News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Konsep Riba dalam Al'quran (Part 6)

Konsep Riba dalam Al'quran (Part 6)

Konsep Riba dalam Al'quran (Part 6)

Nuansamedianews.com - Dengan dilarangnya penggunaan suku bunga dalam transaksi keuangan, maka dibutuhkan lembaga keuangan alternatif semisal perbankan syari‟ah yang dalam operasinya tidak berdasar atas bunga, tetapi atas pola profit and loss-sharing atau model akad dan permodalan lainnya yang dapat diterima. 

Menurut hukum perniagaan Islam, kemitraan dan semua bentuk organisasi bisnis lainnya didirikan terutama dengan satu tujuan; pembagian keuntungan melalui partisipasi bersama. Mudhārabah dan musyārakah adalah dua model profit sharing (bagi hasil) yang paling mungkin diterapkan.

C. Riba Sebagai Pemicu Krisis: Sebuah Realitas

Riba banyak dinilai oleh banyak kalangan sebagai pemicu krisis. Riba atau bunga adalah penyebab utama terjadinya krisis. Menurut Agustianto riba adalah jantung dari sistem ekonomi kapitalisme. 

AlQur‟an sendiri membicarakan riba (bunga) adalah dalam konteks ekonomi makro, bukan hanya ekonomi mikro. Membicarakan riba dalam konteks ekonomi makro adalah mengkaji dampak riba terhadap ekonomi masyarakat secara agregat (menyeluruh), bukan individu atau perusahaan (institusi). 

Dalam sistem kapitalis ini, bunga bank (interest rate) merupakan jantung dari sistem perekonomian. Hampir tak ada sisi dari perekonomian, yang luput dari mekanisme kredit bunga bank (credit sistem). Mulai dari transaksi lokal pada semua struktur ekonomi negara, hingga perdagangan internasional.Dalam pandangannya, dampak sistem ekonomi ribawi tersebut sangat membahayakan perekonomian. 

Pertama, sistem ekonomi ribawi telah banyak menimbulkan krisis ekonomi di mana-mana sepanjang sejarah, sejak tahun 1930 sampai saat ini. 

Kedua, di bawah sistem ekonomi ribawi, kesenjangan pertumbuhan ekonomi masyarakat dunia makin terjadi secara konstan, sehingga yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin. 

Ketiga, suku bunga juga berpengaruh terhadap investasi, produksi dan terciptanya pengangguran. Semakin tinggi suku bunga, maka investasi semakin menurun. Jika investasi menurun, produksi juga menurun. Jika produksi menurun, maka akan meningkatkan angka pengangguran. 

Keempat, teori ekonomi juga mengajarkan bahwa suku bunga akan secara signifikan menimbulkan inflasi. Inflasi akan menurunkan daya beli atau memiskinkan rakyat. 

Kelima, sistem ekonomi ribawi juga telah menjerumuskan negara-negara berkembang kepada debt trap (jebakan hutang) yang dalam, sehingga untuk membayar bunga saja merekakesulitan, apalagi bersama pokoknya. 

Keenam, dalam konteks Indonesia, dampak bunga berdampak terhadap pengurasan dana APBN. Bunga telah membebani APBN untuk membayar bunga obligasi kepada perbankan konvensional yang telah dibantu dengan BLBI. Selain bunga obligasi juga membayar bunga SBI. Pembayaran bunga yang besar inilah yang membuat APBN kita defisit setiap tahun. 

Krisis perbankan juga semakin diperparah, karena tidak hanya mempraktikkan bunga, tapi pada saat yang sama mereka juga menjadi agen spekulasi. Mestinya, perbankan lebih berkonsentrasi pada pembiayaan usaha kecil-menengah yang merupakan cikal bakal penyerapan lapangan. Namun faktanya sebagaimana dikutip dari Joseph Stiglitz, perbankan AS maupun kebanyakan negara lainnya cenderung tertarik mendapatkan profit besar dengan mempromosikan produk berbasis derivatif yang terlibat secara langsung dalam perjudian.

Akad-akad tersebut di atas pada dasarnya lebih didasarkan pada underlying transaction, sebuah transaksi yang mengharuskan adanya barang, sektor riil. Dengan adanya akad ini, diharapkan arus moneter diimbangi dengan sektor riil. Sebab, jika arus moneter (uang) dan arus barang seimbang maka ekonomi akan stabil. Hal ini akan dapat menahan laju inflasi dan tidak terjadi gelembung ekonomi (economic bubble) karena terjadi equilibrium. Sebaliknya jika uang berkembang tidak seimbang dengan jumlah barang, maka akan memicun terjadinya inflasi atau akan terjadi gelembung ekonomi yang besar dan jika gelembung itu pecah, akan terjadi krisis moneter.

Akad bagi hasil seperti mudhārabah dan musyārakah, keduanya tentu mengharuskan adanya pemanfaatan uang untuk sektor riil. Sebab, dengan kedua akad ini, tentu pihak yang dipinjami uang akan menggunakannya untuk kepentingan usaha yang hasilnya akan dibagi dengan pihak pemilik modal (uang). Akad murābahah, dalam praktik idealnya mengharuskan adanya barang. Logikanya, barang-barang ini tidak mungkin terwujud jika tidak melibatkan unsur produksi. 

Produksi dengan sendirinya akan melibatkan tenaga kerja. Ketersediaan barang merupakan konsekuensi dari proses produksi. Di samping itu, produksi mendorong jiwa enterpreneurship. Hal ini, tentu tidak serta merta terjadi manakala yang dipinjam hanya uang. 

Sebab realitasnya, uang dapat dipergunakan untuk berbagai keperluan seperti membayar hutang dan bahkan untuk kegiatan yang bersifat spekulasi seperti jual beli uang dan lain-lain, sehingga tidak mesti menjadi pendorong terhadap tiga hal tersebut; produksi, entrepreneurship dan tenaga kerja. 

Realitasnya, al-Qur‟an menjelaskan bahwa hal yang bisa menggantikan riba adalah jual beli. Dengan demikian yang menjadi titik tekan dalam akad akad tersebut adalah bagaimana sector moneter itu harus diimbangi dengan sector riil. Jika hanya mengandalkan sector moneter saja, maka ada dua kemungkinan; memicu terjadinya inflasi dan terjadinya gelembunggelumbung ekonomi (bubble economic) yang apabila meledak akan menyebabkan terjadinya krisis.

Kesimpulan 

Dari pembahasan di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, berdasarkan ayat-ayat al-Qur‟an tersebut di atas, para ulama sepakat bahwa ribamerupakan sesuatu yang dilarang karena ayat-ayat yang menjelaskan tentang keharaman riba dinilai sangat jelas dan secara kronologis dapat dipahami esensi pelarangan tersebut. Berdasarkan tahapan pelarangannya, keharaman riba nampak nyata dan jelas dalam QS. Ali Imran [3]:130 dan al-Baqarah [2]:275-281. 

Akan tetapi, para ulama berbeda dalam memaknai lafadz adh„āfan mudhā„afah dalam QS. Ali Imran tersebut. Larangan riba dalam al-Qur‟an tersebut telah didahului bentuk-bentuk larangan yang lainnya yang secara moral tidak dapat ditoleransi yang secara luas menimbulkan dampak kerugian yang besar dalam komunitasnya. Di sisi lain al-Qur‟an sangat menganjurkan masyarakat Makkah untuk menolong fakir miskin dan anak yatim yang ada di sekelilingnya.(tamat)

Editor : (Marthagon)





Source:(Abdul Ghofur)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Posting Komentar