KONSEP MATI DAN HIDUP DALAM ISLAM (Part 1)
KONSEP MATI DAN HIDUP DALAM ISLAM
Nuansamedianews.com - Penyebutan pada kata mati dan hidup berdasarkan konsep Islam adalah sebuah rantai kehidupan yang saling menghubungkan. Artinya, bahwa kematian adalah satu dimensi kehidupan berikutnya dan akan berlangsung setelah proses kehidupan yang pertama.
Peristiwa kematian dan kehidupan, oleh al-Qur’an dinilai sebagai bentuk penciptaan yang patut diperhatikan secara seksama; dan bahkan perhatian kepada kedua kata ini (mati dan hidup) memerlukan analisis secara aktual, dengan mengacu kepada sifat Tuhan melalui representasi asma’ al-husna, bahwa tingkat kebaikan Tuhan memang tak terbatas. Dengan kata lain, kematian dan kehidupan adalah suatu penciptaan Tuhan yang patut disyukuri dan diterima seikhlas mungkin sebagai landasan ketaqwaan seorang hamba dalam konteks keimanan.
A. Mati, Hidup dan Konsep Eskatologis
Sekali seseorang menyatakan dirinya telah beriman - melalui penyebutan dua kalimat syahadat, maka dengan sendirinya ia telah menerangkan status dirinya dalam keadaan sebagai muslim. Pencapaian pada penyebutan kata dua kalimat syahadat, sesungguhnya, telah menandai seseorang memasuki fase kehidupan yang sama sekali baru. Kehidupan yang dinilai sama sekali baru dalam diri seorang muslim, yang kemudian menjadi identik dengan perubahan total, sekiranya mengikuti bahasa al-Qur’an, berarti seseorang telah menerima apa saja dalam bentuk dan keadaan apapun sebagai sebuah konsekuensi, termasuk penetapan konsepsi Allah sebagai Tuhan yang berkuasa mutlak.
Dikarenakan manusia (insan) dalam pengertian hamba (‘abd) telah menempatkan Tuhan sebagai Penguasa Mutlak, maka yang diperlukan oleh seorang hamba adalah pengabdian kepada-Nya. Ketika pengabdian ini terbentuk meski secara sepihak (tanpa paksaan; tanpa syarat oleh hamba), maka yang menjadi perhatian utama berikutnya adalah posisi seorang hamba (‘abd) tentu harus berbuat dan bertingkah laku layaknya seorang hamba. Penekanan pada dimensi pengabdian seorang hamba kepada Tuhan-Nya adalah reaksi al-Qur’an yang bernilai teosentris, bahwa Tuhan yang pantas disembah dan Dia yang menguasai langit dan bumi; dan ini dapat ditunjukkan dengan jelas pada ayat berikut ini:
Yang Artinya: “Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, Maka sembahlah dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?.
Apa yang melandasi uraian di atas, kiranya bertujuan memberi sebuah gambaran di mana seorang muslim-Islam atau kata kerjanya, aslama berdasarkan pengertian yang digunakan dalam frasa aslama wajha-hu li-Allahi, yang secara harfiah berarti, “Ia telah menyerahkan wajahnya kepada Allah”, makna sesungguhnya adalah seseorang yang dengan sukarela menyerahkan dirinya kepada kehendak Ilahi dan mempercayakan dirinya hanya sepenuhnya kepada Allah. Alasan ini telah dipertegas dalam surat al-Baqarah ayat 128 sebagai berikut:
Yang Artinya: “Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah Taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”.
Supaya kajian ini lebih mengarah dalam konsep eskatologis, maka eksistensi mati dan hidup adalah sebuah peniscayaan yang patut diterima dan diyakini oleh manusia sebagai muslim. Penerimaan dalam konteks teologi misalnya, sesungguhnya mati dan hidup adalah sebuah rantai kehidupan yang saling menghubungkan - yakni sesuatu yang mewakili tahap transisi antara dua wilayah (kutub A sebagai sebuah wilayah kematian dan kutub B sebagai wilayah kehidupan). Kedua wilayah ini, antara mati dan hidup, dalam bahasa al Qur’an merupakan bagian yang sama menuju kehidupan yang abadi. Karenanya, kedua pemahaman antara mati dan hidup menjadi lebih khas, jika tidak dikatakan identik, di mana al-Qur’an telah memainkan peranan penting menginformasikan kedua kata ini berdasarkan konteks apa saja sebagai manifestasi yang pasti terniscayakan. Perhatian yang dinilai penting ini, oleh al-Qur’an meski diklasifikasi sebagai kasus biasa “nasib manusia” - mati dan hidup - namun itu tetap memiliki magnet yang sama dalam konteks sebagai suatu penciptaan. Artinya, ada yang menciptakan akan kematian sebagaimana penciptaan adanya sebuah kehidupan.
Ayat Al Qur'an yang Artinya: “Dan mereka berkata: “Kehidupan Ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa”, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja”.
Penegasan pada ayat di atas, sesungguhnya, kematian berdasarkan versi masyarakat jahiliyah Pagan sangatlah terikat oleh masa (dahr). Informasi al-Qur’an ini menandakan dampak nihilisme yang begitu pesimistik di kalangan masyarakat Arab Pagan menyangkut kematian; dan pemahaman ini ternyata tidak termanifestasi dalam konteks kehidupan. Ketentuan ini mengembalikan pada tingkat pemahaman Arab Pagan terkait gagasan kebangkitan kembali tubuh yang telah mati, dan biasanya dinyatakan melalui kata-kata ba’atha dan anshara (nashr).
Ayat Alquran yang Artinya: “Dan tentu mereka akan mengatakan (pula): “Hidup hanyalah kehidupan kita di dunia Ini saja, dan kita sekali-sekali tidak akan dibangkitkan.”
Pengingkaran terhadap adanya kematian (maut) tanpa harus menyilang pemahaman yang disebabkan oleh masa (dahr), sebagaimana argumentasi atau ekstensifikasi Arab Jahiliyah, al-Qur’an dengan tegas memberi posisi yang khas bahwa kematian (sebagai sesuatu yang natural-biologis; sebagai fenomena), yang merupakan titik akhir dari sebuah kehidupan dunia. Atau dengan kata lain, bahwa titik akhir kematian Arab Pagan adalah dahr(sebagai nasib; determinasi). Adapun titik akhir kematian, dalam konsep al-Qur’an adalah ajal.
Kata ajal, atau hari (waktu) yang telah dijanjikan (ditetapkan) adalah struktur kata yang memberi sinyal yang pasti dan mutlak dan bukan dari hasil imajinasi yang tidak berdasar layaknya pandangan Arab Pagan. Ini dibutikan sesuai dengan ayat berikut di bawah ini:
Yang Artinya: “Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang Tinggi lagi kokoh…”?
Demikian pula ayat berikut ini menjelaskan sebagai berikut:
Yang Artinya: “Dialah yang menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu ditentukannya ajal (kematianmu), dan ada lagi suatu ajal yang ada pada sisi-Nya (yang dia sendirilah mengetahuinya), Kemudian kamu masih ragu-ragu (tentang berbangkit itu).”
Dengan demikian, bagaimanapun keniscayaan mati dalam bentuk ajal, menurut al-Qur’an tidak menuju pada pandangan nihilisme, sebagaimana yang dipahami oleh masyarakat Arab Pagan, lantaran ajal dalam al-Qur’an bukanlah titik akhir eksistensi manusia.
Sebaliknya, kematian merupakan permualaan kehidupan yang sama sekali baru dan lain, kehidupan abadi (khulud). Dalam sistem ini, ajal (kematian) pada setiap orang tidak lain adalah sebagai tahap pertengahan dari seluruh rentang kehidupannya, suatu titik balik dalam sejarah kehidupan yang terletak antara dunia dan akhirat.
B. Konsep Mati dan Hidup
Dari segi ke-bahasaan, istilah kata mati (al-mawt) memiliki korelasi yang sama dengan istilah pancaindera, akal dan Iain-lain. Korelasi ini mengandung pemahaman bahwa, kematian yang dimaksud berarti telah kehilangan kekuatan atau kemampuan untuk hidup; dan ini sama seperti seseorang telah kehilangan sejumlah organ tubuh, yang menyebabkan seseorang tidak dapat merasakan atau melihat sesuatu.
Mati mengindikasikan berlawanan dengan kata hidup (al-hayah), meski kemudian kedua kata ini murupakan ciptaan Allah swt. Namun demikian, mati dan hidup berkaitan erat dengan kedudukan dan perwujudan roh.
Dalam al-Qur’an, perkataan al-mawt disebutkan sebanyak lima puluh (50) kali dalam bentuk mufrad, dan enam (6) kali dalam bentuk jama’ (al-amwat). Di antara ayat ayat yang berkaitan dengan mati adalah:
Yang Artinya: “Tiap-tiap yang berjiwa akkan merasakan mati.”
Dan ayat berikut yang Artinya: “Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya.”
Ayat selanjutnya yang Artinya: “Katakanlah: “Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, Maka Sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu…” (bersambung)
Editor : (Marthagon)
Source: (Umar Latif UIN Ar-Raniry)
Posting Komentar