KONSEP MATI DAN HIDUP DALAM ISLAM (Part 2)
KONSEP MATI DAN HIDUP DALAM ISLAM (Part 2)
IlustrasiNuansaMediaNews.com - Demikian pula untuk kata hidup (al-hayah). Kata ini mengandung makna hidup, kehidupan, tumbuh berkembang, kekal, atau berguna. Kata hayat dalam alQur’an selalu dikaitkan dengan kehidupan manusia di dunia yang ditandai antara lain dengan pertumbuhan fisik, pertambahan usia, pemenuhan kebutuhan biologis, hubungan silaturrahmi, kepemilikan harta, kedudukan, kemegahan, dan seterusnya yang kemudian pikun dan pada gilirannya akan mati.
Kata hayat termasuk kata yang banyak disebutkan dalam al-Qur’an. Dan, alQur’an bahkan menginformasikan bahwa kata tersebut diulang sebanyak tujuh puluh enam (76) kali. Enam puluh delapan (68) kali di antaranya dihubungkan dengan kata aldunya, sehingga tersusun menjadi kata al-hayah al-dunya, yang berarti kehidupan dunia sebagai lawan dari kehidupan akhirat. Seperti diterangkan dalam Al Qur'an yang Artinya: “Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat.
Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat. Itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat, Maka tidak akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak akan ditolong.”
Surat dalam Al-Qur'an
yang Artinya: “Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras.”
Artinya: “Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”
Berdasarkan kedua kata antara mati dan hidup, sebagaimana uraian di atas, sesungguhnya oleh al-Qur’an biasa dikonfrontasikan sebagai pasangan yang saling melengkapi. Bahkan dalam al-Qur’an, jumlah kata al-mawt dan yang seakar dengannya sebanyak jumlah kata al-hayah dan yang seakar dengannya, yakni seratus empat puluh lima (145) kali. Penyebutan kata mati dan hidup dari sekian banyak kodrat dan kuasa agaknya disebabkan karena kedua hal ini merupakan bukti yang paling jelas tentang kuasa-Nya dalam konteks manusia. Hidup tidak dapat diwujudkan oleh selain-Nya dan mati tidak dapat ditampik oleh siapa pun. Keduanya tidak dapat dilakukan.
Secara sederhana, al-Qur’an turut mengemukakan pengertian yang hampir sama tanpa terdapat perubahan maksud. Al-Qur’an menunjukkan bahwa setiap makhluk yang bernyawa (ruh) pasti mati, bahkan alam dunia pun akan diakhiri dengan mati (kiamat). Oleh karena itu, kematian adalah suatu kepastian, dan tiada satu pun yang dapat melarikan diri daripadanya; dan bahkan mati yang akan mendatanginya. Di sini al-Qur’an justru mensifatkan mati sebagai sunnah Allah swt yang umum bagi segala kejadian. Di samping itu, mati merupakan perkara ghaib yang tidak diketahui oleh manusia, bahkan peristiwa kejadiannya berlaku pada setiap detik (lahzah), masa (waqt) dan pada setiap jiwa (nafs) menuju untuk menerima ajal.
Mati menjadi titik pemisah di antara dua perkara, yakni masa, keadaan dan kehidupan dunia menuju kepada masa, keadaan dan kehidupan akhirat yang abadi. la bertindak sebagai pintu ke alam akhirat (hayah al-akhirah). Ini memberikan implikasi bahwa sekiranya kematian tidak berlaku sudah tentu persoalan-persoalan yang berkaitan dengan alam akhirat tidak akan berlaku. Dengan berlakunya kematian, keadilan di alam akhirat yang abadi mulai dilaksanakan dan kiamat (al-qiymah) bagi setiap manusia pun telah dimulai. Dengan demikian, bahwa mati dianggap sebagai perpindahan dari suatu kejadian dalam bentuk hidup kepada suatu kejadian yang lain berdasarkan keterangan Allah dalam surat al-Waqi’ah ayat 61.
Yang Artinya: “Untuk menggantikan kamu dengan orang-orang yang seperti kamu (dalam dunia) dan menciptakan kamu kelak (di akhirat) dalam keadaan yang tidak kamu ketahui.”
Terdapat beberapa keterangan yang diberikan kepada persoalan kematian. Sebahagian mengatakan mati sebagai bentuk penyucian dari kotoran yang meliputi perbuatan dosa dan ia boleh dianggap sebagai tempat kesucian yang biasa digunakan untuk menghilangkan sejumlah bentuk kotoran. Oleh kerana itu, kematian merupakan peluang terakhir bagi setiap manusia untuk membebaskan diri dari sejumlah dosa dan menyucikan diri dari segala bentuk keburukan. Penyucian ini termanifestasi kepada dua golongan manusia, yaitu apakah seseorang itu sebagai mukmin atau kafir.
Ilustrasi (Malaikat Pencabut nyawa)Adapun terkait dengan persoalan pengambilan ruh yang dimiliki oleh setiap makhluk, al-Qur’an mengemukakan beberapa penjelasan mengenainya. Sebahagian ayat menggambarkan Allah swt sendiri mematikan makhluk-makhluk-Nya yang bernyawa (al-anfus). Sementara dalam ayat yang lain disebutkan, bahwa malaikat maut yang akan melakukannya, sedangkan ayat seterusnya menunjukkan malaikat-malaikat yang akan mematikannya. Dalam menguraikan persoalan tersebut, merujuk kepada argumentasi ‘Ali ibn Abi Thalib, bahwa Allah swt melakukan segala urusan mengikuti kehendakNya. Untuk tujuan itu, Allah swt telah memilih malaikat maut secara khusus sebagai wakil-Nya untuk melaksanakan tugas itu dengan mengacu berdasarkan kehendak-Nya. Malaikat maut pula diwakili dan dibantu oleh para malaikat yang menjadi utusannya
untuk melaksanakan tugas dalam rangka pengambilan ruh setiap makhluk-Nya. Oleh karena ruh manusia diklasifikasi kepada dua hal, antara yang “baik” dan yang “jahat”, maka para malaikat yang ditugaskan untuk mengambil ruh tersebut juga dikatakan terdiri dari dua kategori, yaitu malaikat rahmat dan malaikat azab. Adapun Malaikat rahmat ditugaskan mengambil ruh orang-orang yang baik dan taat (ahl al-ta’ah), sementara malaikat azab juga mengambil ruh orang-orang yang jahat dan ingkar (ahl al-ma’siyah).
Untuk memperjelas hal ini secara umum, beliau mengklasifikasikan manusia di dunia ini kepada dua golongan:
Pertama: Orang yang bersenang-senang dan terdiri dari orang-orang kafir.
Kedua: Orang yang melepaskan diri dari beban orang-orang mukmin, yang dengan kematiannya itu dapat melepaskan diri dari dunia dan ujian-ujiannya.
Berdasarkan klasifikasi di atas, sekiranya dibiarkan manusia tanpa kematian, tentulah mereka akan senantiasa berupaya mengarahkan kepada setiap perbuatan yang mengadung dosa dan maksiat. Karena itu, mati bermaksud untuk menjadi peringatan (wa’id) bagi manusia.
Berdasarkan uraian di atas, maka ketentuan mati dan hidup merupakan persoalan yang berhubungan dengan hikmah Allah swt dalam konteks yang begitu dinamis dan praktis sebagai bentuk pertanggungjawaban:
Pertama, Allah menciptakan mati dan hidup bermaksud untuk menguji, membedakan dan menentukan manusia berdasarkan amalan dan perbuatan mereka terhadap perintah dan larangan yang Allah swt kemukakan untuk diberikan pembalasan.
Kedua, menghindari dunia ini yang tampak sempit lantaran dipenuhi oleh keturunan manusia yang banyak.
Ketiga, sebagai peringatan (wa’id) kepada semua makhluk, khususnya manusia dan jin supaya dengan demikian, mereka senantiasa menjaga diri dalam setiap perbuatannya.
Adapun alasan Allah merahasiakan tentang kematian dan kehidupan lantaran disebabkan sebagai berikut:
Pertama, sekiranya manusia mengetahui datangnya kematiannya atau adanya kehidupan, maka dimungkinkan bahwa manusia gagal dalam tugasnya sebelum ajalnya tiba. Untuk itu, adalah suatu rahmat dan perbuatannya menjadi faktor penggerak dalam kehidupan.
Kedua, kejahilan itu sebagai sesuatu yang berbentuk pendidikan kerana sekiranya diketahui tiba waktunya ajal, sudah tentu manusia tidak menjadi sombong.
Keadaan ini tidak mendatangkan kesempurnaan dari segi aspek spiritual dan tingkat kemuliaan sebagai langkah untuk mengatasi kehinaan seorang hamba atau manusia.(bersambung)
Editor (Marthagon)
Oleh Umar Latif : Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry Banda Aceh.
Posting Komentar